Kanal

Pak Tatung Maestro Gambus Talang Mamak, Penampilannya Pukau Balai Bahasa Kemendikbud

PELITARIAU, Inhu - Cerita eksistensi suku talang mamak di Kabupaten Indragiri hulu (Inhu) Provinsi Riau, sebagian besar digambarkan oleh musik gambus yang dimainkan pak Tatung, masyarakat minoritas talang mamak yang sudah puluhan tahun berjuang atas pengakuan hak adat dan ulayatnya kepada pemerintah sebagian besar digambarkan oleh pak Tatung dalam bergambus.

Tatung pemilik nama lengkap Syaparudin juga diakui oleh masyarakat sebagai Mangku adat di kelompok minoritas suku talang mamak Rantau Langsat Kecamatan Batang Gansal Kabupaten Inhu. Alunan lagu gambus yang dibawakan pak Tatung bersama rekanya Madi dan Andra ternyata memukau tim peneliti dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia saat berkunjung ke Talang Durian Cacar Kecamatan Rakit Kulim Kamis (4/2/2021) kemarin.

"Kesenian talang mamak ini layak ditampilkan di tingkat nasional, penampilan kegiatan kesenian seperti ini ditingkat nasional dalam rangka memperkenalkan keberadaan masyarakat minoritas talang mamak di Inhu," kata tim peneliti Suku Talang Mamak, Dr Maman S Mahayana dari Universitas Indonesia (UI) dengan lisensi peneliti madya, didampingi rekannya Drs Puji Santosa MHum, dari badan bahasa (peneliti madya), Drs Suyono (peneliti madya) dan Rohim SAg MHum berlisensi peneliti muda.

Penelitian yang dilakukan tim Badan Bahasa Kemendikbud ini melihat potensi kesenian gambus talang mamak dan tarian talang mamak layak diangkat ke tingkat nasional, dimana penelitian yang dilakukan langsung ke suku talang mamak untuk melihat langsung isu kompleksitas ketidakterpenuhinya hak-hak masyarakat yang berkaitan dengan persoalan ketimpangan wilayah, ras, gender, agama, dan politik, sebagaimana tercermin di dalam karya sastra dan bagaimana pengaruhnya dalam perkembangan kesusastraan Indonesia.

Ditambahkannya, beberapa karya sastra dalam berbagai genre, tercipta  dari situasi kemelut demokrasi terutama isu ketidakterpenuhan hak-hak warga negara di ranah kesejahteraan ekonomi, pendidikan, perlindungan dari kekerasan, ekspresi budaya dan keyakinan, perlindungan hukum, kesetaraan politik, serta menyampaikan opini.

"Karya sastralah yang dapat memberi gambaran secara mendetail tentang problem tersebut. Karena misalnya, ketidaksetaraan adalah prosa dan puisi yang dianggap sebagai cermin atau potret masyarakat, mimetik, dan hasil karyanya menuju ke pragmatik," jelas Maman.

Tim peneliti Badan Bahasa bertemu dengan Batin Gunduk yang merupakan kepala adat Talang Mamak Ampang Delapan Kecamatan Rakit Kulim, di Kecamatan Rakit Kulim sendiri terdapat 10 suku talang mamak, diantaranya suku Talang Pri Jaya, Talang Tujuh Buah Tangga, Durian Cacar, Suku Duapuluh Patar, Sungai Jirak, suku Talang Hedabu, suku Talang Perigi, suku Talang Sungai Limau dan suku Talang Parit.

Tim peneliti tersebut juga menginap di perkampungan talang mamak Suku Ampang Delapani, dan tampak dilayani akrab oleh masyarakat adat talang mamak tersebut. Saat itu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga hadir ditengah masyarakat talang mamak serta hadir juga penulis buku "Mantra Puisi" talang mamak Dheni Kurnia, yang terpilih sebagai buku terbaik HPI (Hari Puisi Indonesia) tahun 2018 lalu.

Menurut peneliti DR Maman, beberapa karya sastra dalam berbagai genre, tercipta  dari situasi kemelut demokrasi terutama isu ketidakterpenuhan  hak-hak  warga negara di ranah kesejahteraan ekonomi, pendidikan, perlindungan dari kekerasan, ekspresi budaya dan keyakinan, perlindungan hukum, kesetaraan politik, serta menyampaikan opini.

Sedangkan Batin suku Ampang Delapan, Gunduk menyambut senang atas kehadiran tim peneliti dari Badan Bahasa Kemendikbud RI, dia berharap seluruh isu suku talang mamak di Inhu bisa sampai ke tingkat pemangku kepentingan di Jakarta. 

"Saat ini kami belum memiliki akte perkawinan yang dikeluarkan oleh pemerintah, kami hanya memiliki surat nikah yang dikeluarkan oleh batin saja," kata Gunduk bercerita kepada tim peneliti.

Suku talang mamak di Inhu meyakini dan menganut agama Islam, namun sebagian suku talang mamak masih meyakini "Islam langkah lama" yang diyakini mereka sama halnya dengan agama Islam yang berkembang saat ini. "Tatacara hidup kami sesuai dengan Islam, namun dalam Islam langkah lama kami tidak melaksanakan kewajiban sepeti sholat, puasa, haji, puasa," katanya.

Setiap tahun, suku talang mamak hilir ke Kerajaan Indragiri untuk menyembah raja, kegiatan dua kali dalam setahun itu dilakukan terus menerus sampai dengan tahun 2020 lalu, dan itu akan terus dilakukan oleh suku Talang Mamak. "Kami ke kerajaan menyembah raja sambil membawa buah tangan, seperti ayam, hasil alam dan lainya," kata Batin Gunduk. **Prc


Ikuti Terus Pelitariau.com

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER