Tokoh Pers, Wartawan Senior Tarman Azzam Meninggal Dunia

Jumat, 09 September 2016

Tarman Azzam

PELITARIAU, Jakarta - Tokoh pers Nasional Tarman Azzam meninggal dunia di Ambon, Jumat sekitar pukul 09.30 WIT, namun berbagai karyanya saat ini akan tetap dikenang. Jabatan terakhir beliau sebelum meninggalkan kita semua sebagai Ketua Penasihat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.

Almarhum, yang berada di Ambon dalam rangka mewakili Ketua Umum PWI Pusat Margiono untuk meluncurkan Hari Pers Nasional (HPN) 2017 tingkat lokal pada 8 September 2016, meninggal dunia di Hotel Manise.

Mantan Ketua Umum PWI ini berada di Ambon sejak Rabu (7/9/2016) siang dan menginap di kamar 300 hotel itu. Almarhum sebelum menghadiri peluncuran HPN lokal menyempatkan diri mengunjungi pesona wisata belut air tawar maupun pantai Desa Tulehu dan Pantai Liang, Kecamatan Salahutu, Pulau Ambon.

Berikut ini biografi Tarman Azzam seperti tercantum dalam situs PWI (pwi.or.id).

Tarman Azzam, mantan Ketua PWI Jaya, ini memang sudah suka berorganisasi sejak masa remaja. Masa itu, ia aktif dalam organisasi Pelajar Islam (PII) dan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU. Sekitar 1966, ia juga aktif dalam Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), kemudian ketika menjadi mahasiswa aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Tarman Azzam memasuki profesi wartawan karena panggilan jiwa untuk mengabdi kepada bangsa dan negara. Kedengarannya klise. Tapi itulah yang tak akan berhenti ia ucapkan setiap kali ditanya mengapa menjadi wartawan.

Karirnya sebagai wartawan diawali ketika ia lulus diterima menjadi anggota Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) cabang Jakarta. Setiap anggota IPMI, dengan sendirinya dapat diterima menjadi wartawan KAMI, sebuah koran yang dipimpin dan dikelola oleh sebagian besar para aktivis mahasiswa anggota KAMI. Koran inilah pula pada awalnya yang berhasil mendidik dan melatih keterampilan profesi jurnalistiknya, sehingga ia menjadi wartawan seperti sekarang.

Setelah KAMI dibredel bersama 12 suratkabar lain di Indonesia karena peristiwa 15 Januari 1974 (Malari), Tarman dan beberapa wartawan senasib lainnya terpaksa mencari tempat penyaluran untuk dapat meneruskan profesinya sebagai wartawan. Berbeda dari teman-temannya yang lain, ketika itu ia lebih suka memilih Radio Arif Rakhman Hakim (ARH) sebagai tempat untuk penyaluran profesinya.

Bekerja di radio ARH sebagai reporter memang tidak terlalu lama, sebab, satu tahun kemudian (tahun 1975), ia dapat bersatu kembali dengan teman-temannya, para mantan wartawan KAMI  yang lebih dulu diminta oleh Harmoko untuk memperkuat jajaran redaksi Pos Sore, kini menjadi Terbit.

Ketika menjalani karir wartawan, ia menjadi Anggota PWI hingga menjadi Ketua PWI Jaya dan Ketua Umum PWI Pusat. Posisi yang terakhir ini dijabat Tarman selama dua periode kepengurusan, 1998-2003 dan 2003-2008. Di samping itu, sebagai pengurus PWI ia juga pernah menjadi anggota MPR, anggota DPRD DKI Jakarta dan Majelis Pakar Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin).

Tarman Azzam menjadi Ketua PWI Jaya dalam kurun 1993-1995 dalam rangka pergantian antar waktu, meneruskan masa jabatan Masdun Pranoto (Angkatan Bersenjata) yang pindah ke Kalimantan Barat. Sebelumnya, Tarman menjabat wakil sekretaris. Kemudian ia dipercaya melanjutkan tugas sebagai ketua untuk kepengurusan PWI Jaya peridoe 1995-1999.

Ketika menjadi Ketua PWI Jaya, ia pernah berpesan bahwa Kota Jakarta bagi jurnalis merupakan tempat yang sangat tepat untuk berkompetisi.

“Di sini memang ladang pers, tersedia banyak fasilitas kemudahan arus informasi, nara sumber, berbagai peristiwa, segala macam masalah dan sebagainya. Maklum, Ibu Kota memang pusat politik, pemerintahan, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Karena itulah, di Jakarta juga habitat perburuhan berita informasi paling tepat dan mengasyikkan.”

Di samping hal-hal di atas, masih menurut mantan Ketua PWI Jaya, di Jakarta juga tempat beroperasi ribuan wartawan dari segala macam media massa yang ada di muka bumi ini, mulai dari yang tradisional sampai ke super modern. Terbesar dari mereka adalah anak-anak muda. Mereka bersemangat menggebu-gebu dalam memburu nara sumber dan menyajikan berita, namun tidak jarang  membuat kekeliruan, dalam produk liputannya. Tidak sedikit dari mereka ini menganggap wartawan harus bebas, sebebas-bebasnya.

Dalam posisinya sebagai Ketua PWI, tentu saja ia termasuk yang berpendapat bahwa kebebasan pers itu harus tunduk pada etika profesi dan wartawan harus jelas memposisikan dirinya tunduk pada etika. Semua wartawan anggota PWI diminta harus tunduk dan melaksanakan kode etik jurnalistik PWI. Demikian juga bagi mereka yang menjadi anggota organisasi wartawan lain, maka harus juga melaksanakan ketaatan pada kode etiknya baru bisa disebut wartawan yang bermartabat.

Salah satu karya PWI Jaya di bawa kepemimpinannya yakni untuk pertama kali diterbitkan sebuah buku mengenai sejarah dan perjuangan PWI Jaya berjudul PWI Jaya di Arena Massa yang disusun oleh Soebagio I.N., seorang sejarawan pers Indonesia, pensiunan Kantor Berita ANTARA tahun 1998.

Di samping itu, di era kepemimpinan Tarman juga, PWI Jaya terhitung sejak 1995 telah mengabadikan nama Mohammad Hoesni Thamrin, tokoh pers nasional dan pejuang kemerdekaan asal Betawi, sebagai bentuk sebuah penghargaan tertingga  atas karya jurnalistik terbaik para anggota PWI Jaya. Anugerah ini merupakan pengganti Anugerah Jurnalistik Adinegoro yang diadakan PWI Jaya sejak 1974, tapi sejak 1995 program itu telah ditingkatkan menjadi program PWI Pusat.(r 10/prc/Bisnis.com)