DPR Mendesak Kejahatan Vaksin Palsu Harus Diungkap Secara Komprehensif

Ahad, 17 Juli 2016

Bambang Soesatyo

PELITARIAU, Jakarta- Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo menilai, kasus pemberian vaksin palsu untuk bayi dibawah lima tahun (Balita) harus dilihat sebagai skandal layanan medis paling mengerikan yang pernah terjadi di negara ini. Polri wajib menyelidiki skandal ini mulai dari awal, karena kejahatan yang terkoordinasi ini sudah berlangsung sejak 2003.

Rentang waktu praktik kejahatan vaksin palsu sangat panjang, karena baru terkuak pada paruh pertama 2016 ini. Ada sekumpulan predator Balita dibalik skandal layanan medis ini.

Hingga akhir pekan lalu, Mabes Polri sudah menetapkan tiga dokter sebagai tersangka, dari total puluhan tersangka. Identitas 14 rumah sakit pengguna vaksin palsu dan delapan bidan pemberi vaksin palsu sudah diungkap.

"Skandal ini patut dikategorikan sebagai kejahatan yang sangat mengerikan karena sebagian besar tersangka pelaku justru memiliki keahlian di bidang pelayanan medis," kata Bambang, saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (17/7).

Selama belasan tahun, para predator Balita itu menyuntikan vaksin palsu kepada ribuan Balita di belasan provinsi. Jumlah tersangka seharusnya memang terus bertambah karena pengusutan kasus ini belum tuntas.

Apalagi, lanjut dia, produksi, distribusi dan pemberian vaksin palsu kepada Balita sudah berlangsung sejak tahun 2003. Mengungkap peran dan keterlibatan para tersangka saja tidak cukup. Untuk kejahatan yang satu ini, penyelidikan polisi harus komprehensif.

Mabes Polri telah mengakui bahwa proses pengungkapan kasus ini berawal langkah polisi mendalami laporan masyarakat tentang kematian sejumlah bayi setelah diimunisasi. Maka, untuk untuk memberi gambaran kepada publik tentang dampak kejahatan ini, Bareskrim Polri layak untuk mengungkap jumlah korban selama ini, termasuk dampak lain bagi Balita yang menerima vaksin palsu. Wilayah peredarannya bisa saja mencapai lebih dari 17 provinsi

Kasus-kasus vaksin palsu terdahulu yang proses hukumnya tidak wajar harus dibuka kembali. Kasus vaksin palsu pernah diungkap tahun 2008, ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan vaksin Anti Tetanus Serum (ATS) palsu. Kasus itu ditutup dengan alasan yang tidak jelas.

Tahun, 2013 terungkap lagi kasus vaksin palsu dengan dua tersangka, tetapi satu tersangka bisa melarikan diri. Pelaku yang tertangkap pun hanya dikenai hukuman denda satu juta rupiah.

"Para vaksinolog melihat ada kejanggalan pada proses hukum dua kasus vaksin palsu terdahulu itu," ucap Bambang.**