Belajar Kasih Sayang dan Kejujuran dari Jenderal Hoegeng dan Merry Roeslani

Ahad, 14 Februari 2016

Hoegeng Iman Santoso bersama istri tercinta, Merry Roeslani

PELITARIAU, Jakarta - Sebuah anekdot yang kini sudah tak asing lagi terdengar soal polisi jujur. Katanya, hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia yaitu patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng Imam Santoso.


Hoegeng adalah Kepala Polri kelima yang menjabat pada tahun 1968-1971. Karirnya sebagai polisi dimulai dari pangkat rendahan yang tak bergaji hingga menjadi orang nomor satu Polri.

Hoegeng yang terkenal keras dan lurus ini selalu mendapat godaan dan tak jarang tekanan dari rekan sesama polisi akibat keteguhannya menegakkan hukum.

Bahkan di umurnya yang baru menginjak 49 tahun, Hoegeng "dipensiunkan" oleh Presiden Soeharto karena bersikeras mengusut dugaan keterlibatan anak pejabat dalam pemerkosaan kasus Sam Kuning.

Sang istri, Merry Roeslani paham betul dengan karakter dan pilihan hidup sang suami. Sebagai seorang istri perwira polisi, Merry tidak pernah menuntut kemewahan dalam hidup.

Memori pemecatan Hoegeng di usia muda itu juga yang terus melekat di benaknya. Usai tak menjadi polisi, Hoegeng pulang ke kampung halamannya di Pekalongan untuk bertemu sang ibu. Di sana, Hoegeng menyatakan tak lagi memiliki pekerjaan.

"Saya tidak bisa lupakan itu. Dia sungkem katanya, 'saya tidak punya pekerjaan lagi, Bu'. Ibunya mengatakan, 'kalau kamu jujur melangkah, kami masih bisa makan nasi sama garam.' Itu yang bikin kita kuat semua," kenang Merry saat peluncuran buku "Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan" pada tahun 2013 silam.

Mengarungi hidup berumah tangga, banyak cerita dari pasangan Hoegeng dan Merry seperti yang diceritakan dalam buku "Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan" karya Abrar Yusra dan Ramadhan KH.

Ada kisah penuh getir di saat mereka kesulitan mencari uang untuk kehidupan sehari-hari hingga cerita yang mengundang senyum tatkala Hoegeng menjadikan kesulitan itu sebagai bahan candaan untuk membahagiaan sang istri.

Menjadi pelayan resto

Hoegeng dan Merry menikah pada tanggal 31 Oktober 1946. Pertemuan mereka berawal dari sebuah drama radio berjudul "Saija dan Adinda" yang diangkat dari buku "Max Havelar" karya Douwes Dekker.

Kisah asmara di tengah konflik yang ada dalam cerita itu akhirnya benar-benar menjadi kisah nyata bagi Hoegeng dan Merry. Namun, berbeda dengan akhir tragis yang ada dalam buku "Max Havelar", Hoegeng dan Merry memilih menikah.

Hoegeng saat itu masih berstatus mahasiswa di Akademi Kepolisian di Yogyakarta. Namun, agresi Belanda menyebabkan akademi itu tidak jelas nasibnya.

Hingga Hoegeng mendapat tugas dari Kapolri saat itu, Soekanto untuk menyusun jaringan sel subversi, menghimpun informasi, hingga membujuk pasukan NICA untuk membela Indonesia.

Meski tidak digaji, Hoegeng menjalani tugasnya dengan rasa nasionalisme yang tinggi. Dia memutuskan melamar menjadi pelayan restoran yang biasa didatangi orang Indonesia dan orang Belanda bernama "Pinokio".

Di sana, Hoegeng diterima menjadi pelayan namun, lagi-lagi tak ada gaji untuknya. Sebagai ganti, pemilik resto memberikan makanan gratis tiap hari untuk pegawainya.

Di tempat yang sama, Merry juga berjualan sate untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tak ada seorang pun yang tahu Hoegeng dan Merry adalah pasangan suami istri saat itu.

Tinggal di rumah sempit

Suatu ketika, Hoegeng mendapat tugas ke Surabaya pada tahun 1952 menjadi Wakil Kepala Direktorat Dinas Pengawasan Keamanan Negara (DPKN). Di sana, Hoegeng mendapat informasi dari bawahannya bahwa hanya ada satu rumah dinas yang tersisa di Surabaya.

"Keadaannya bagaimana?" tanya Hoegeng.
"Kamarnya ada dua, Pak! Ada kamar mandi, dapur!"
"Kalau begitu, ya saya pindah ke sana saja!"
"Tapi pak, kurang pantas bagi Bapak. Rumah itu hanya untuk yang berpangkat inspektur polisi!"
"Ya sudah peduli amat. Saya kan belum punya rumah," ujar Hoegeng dengan nada gembira seperti yang dituliskan dalam buku "Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan".

Dia pun melapor kepada atasannya soal rumah dinas baru itu. Sang atasan langsung mencibir pilihan Hoegeng dengan mengatakan rumah itu tak cocok untuk perwira seperti Hoegeng.

Namun, dia tidak peduli. Hoegeng tidak sabar memberitahukan sang istri soal rumah dinas sederhana itu saat Merry dan anak-anaknya tiba di Surabaya dari Jakarta.

Merry tampak antusias dengan rumah baru yang diceritakan Hoegeng. Namun, begitu sampai di Jalan Tidar 105, Hoegeng melihat istrinya tertegun.

"Saya kira rumahnya tak sekecil ini mas," kata Merry. Hoegeng pun tertawa sambil berucap, "tapi di Jakarta tak ada rumah dinas buat kita."

Hoegeng bersyukur memiliki istri dan keluarga yang mengerti pilihannya. Merry pun tak lagi menanyakan soal rumah mungil itu.

Merry tampaknya sudah terbiasa dengan kondisi serba sulit apalagi ditambah dengan kemauan Hoegeng yang tak pernah berpikir bisa hidup mewah. Saat di Jakarta, Merry dan Hoegeng juga sempat tinggal di garasi mobil seorang kerabat.

Fitnah cincin berlian

Hoegeng mendapat tugas kembali di Sumatera Utara sebagai Kepala Reskrim. Misi utamanya adalah memberantas kelompok judi hingga smokel (penyelundupan) yang ternyata berhasil "menjinakkan" seluruh pimpinan Polri yang bertugas di sana.

Di saat Hoegeng dengan ganas memberantas praktek-praktek itu, tak jarang komplotan penjahat itu memiliki banyak akal untuk menaklukan polisi. Pemberian barangg mewah hingga fitnah pun dilancarkan kepada Hoegeng.

Hoegeng mendapat kabar bahwa pedagang India memfitnah istrinya telah menerima cincin berlian dari mereka. Hoegeng gusar bukan main dan memboyong sang istri, Merry ke kantor untuk dikonfrontasi dengan pedagang India yang terlibat kasus penyelundupan bahan pakaian.

"Kenal orang ini?" tanya Hoegeng kepada Merry. Merry menatap orang India itu lalu menggelengkan kepala.

Lalu kepada pedagang India itu, Hoegeng pun bertanya, "kamu kenal orang ini?"

"Tidak pak," jawabnya.

Hoegeng tak lagi kuasa menahan amarahnya dan berteriak bahwa wanita yang ada dihadapan orang India itu adalah istrinya.

"Lalu, bagaimana bisa istri saya ini kau hadiahi cincin berlian?" tukas Hoegeng.

Orang India itu terlihat gelagapan, takut, dan malu. Hoegeng sampai memaki dan melemparkan asbak karena tidak terima mendapat fitnah keji itu.

Tak hanya itu, keluarga Hoegeng sempat pula dihadiahi barang-barang mewah. Kali ini, barnag-barang seperti mesin cuci, pakaian bermerk, hingga alat elektronik lainnya bahkan sudah sampai di rumah Hoegeng.

Mendapat gempuran hadiah itu, Merry tak lantas langsung menerimanya. Dia melaporkan hadiah itu kepada Hoegeng yang langsung menuju ke rumah.

Saat Hoegeng menceritakan bahwa hadiah itu adalah bentuk suap, Merry pun setuju agar seluruh barang-barang itu dikembalikan.

Untuk soal keteguhannya menjaga harga diri, Hoegeng berkaca pada sosok Bung Hatta yang setelah mundur dari Wakil Presiden hanya memiliki uang tabungan Rp 200.

"Orang hidup lurus, apakah musti kurus di zaman ini?" demikian salah satu kutipan yang ada dalam buku "Hoegeng Polisi Idaman dan Kenyataan".


sumber: kompas.com