Anjloknya Harga Minyak Hantam Perusahaan Migas, Ramai-ramai Efisiensi

Ahad, 07 Februari 2016

ilustrasi

PELITARIAU, Jakarta –  Achmad Riyadi (32) duduk santai. Dia tak sendiri. Di sekitarnya, puluhan karyawan masih bercengkerama. Sesekali, tangannya meraih segelas kopi yang tersaji di meja. Diteguk sedikit demi sedikit. Suasana kantin tempat Riyadi duduk masih ramai.

Sore itu, jam kerja kantor memang telah usai. Namun, sebagian karyawan memilih tak langsung pulang. Sekadar melepas penat, mereka juga bersenda gurau.

Riyadi adalah salah satu karyawan badan usaha milik negara (BUMN). Pada kemeja putihnya tertulis nama sebuah perusahaan energi nasional, PT Pertamina. Sehari itu, tak ada aktivitas mencolok. Dia dan karyawan lainnya bekerja seperti biasa.

Karyawan yang sudah dua tahun bekerja di perusahaan pelat merah itu seperti tak harus "puasa", di tengah isu pengetatan anggaran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di industri minyak nasional.

Kabar buruk itu seolah “tak mampir” di kompleks perusahaan papan atas beraset US$47,86 miliar atau sekira Rp640 triliun itu (per Juni 2015). Meski angka itu anjlok dibanding periode sama 2014 yang mencapai US$50,35 miliar atau sekira Rp650 triliun.

Kepada VIVA.co.id, Riyadi belum mendengar adanya isu PHK di perusahaan pelat merah di sektor minyak dan gas itu. Namun, dia meresahkan kondisi perlambatan ekonomi yang memang banyak berdampak bagi masyarakat.

"Kalau katanya ada yang mau dirumahkan (PHK) saya enggak tahu. Memang ekonomi sekarang kayaknya lagi kacau, semua harga jadi tidak menentu," ujar pria yang sudah dua tahun bekerja di perusahaan energi nasional itu, Kamis 4 Februari 2016.

Meski begitu, dia mengaku mendengar perusahaan migas swasta sudah mengalami kerugian dan melakukan pengurangan bonus serta karyawan. Ia berharap, kondisi itu tidak terjadi di perusahaannya. Sebagai perusahaan milik negara, dia meyakini tidak akan bangkrut.

Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, hingga Juni 2015, penjualan dan pendapatan usaha lain Pertamina tercatat US$21,78 miliar atau sekira Rp290 triliun. Namun, perolehan penjualan dan pendapatan usaha itu terpangkas dibanding US$36,27 miliar atau sekira Rp470 triliun pada Juni 2014.

Laba tahun berjalan pada periode itu mencapai US$579,1 juta atau sekira Rp7,7 triliun, sebelum melonjak menjadi US$1,39 miliar atau sekira Rp19 triliun pada akhir Oktober 2015.

Riyadi dan karyawan lainnya mungkin masih lebih beruntung. Karena, perusahaan tempatnya bekerja belum berencana merasionalisasi karyawannya. Meskipun, pencapaian kinerja perseroan itu juga diikuti dengan langkah efisiensi.

Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto, mengatakan, di tengah situasi yang sangat menantang, hingga akhir Oktober 2015, perseroan melakukan efisiensi sebesar US$1,27 miliar.**