Izin Perusahan PT NSP Terancam Dicabut

Jumat, 15 Januari 2016

Saat rapat sidang adendum AMDAL yang digelar di Ballroom Afifa

PELITARIAU, Meranti- Pembahasan dokumen adendum Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) antara pihak Perusahaan National Sago Prima (NSP) yang beroperasi diwilayah Kecamatan Tebingtinggi Timur dengan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kepulauan Meranti serta Dinas terkait lainnya dan tim ahli bidang lingkungan hidup dari UNRI.

Sidang adendum AMDAL yang digelar di Ballroom Afifa, pada Kamis (14/1/16) kemarin, menuai kritik dan mendapatkan protes, karena tidak sesuai dengan kenyataan yang ada dilapangan.

Seperti halnya pada saat Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Kepulauan Meranti disampaikan oleh Kabid Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Randolph Willy Hutauruk, yang menilai Adendum yang disampaikan oleh konsultan ini seperti ada unsur pemaksaan, karena apa yang disampaikan tidak singkron dengan yang terjadi.

Saat mendengarkan pernyataan tersebut, PT NSP yang menjadi kritikan menyebutkan kalau pihaknya memakai zat kimia saat beroperasi, namun tidak disebutkan zat kimia jenis apa yang digunakan. Sedangkan untuk melakukan survei dilapangan PT NSP hanya mengambil sample di Desa Kepau Baru, sedangkan desa yang masuk dalam kawasan operasionalnya seperti Desa Teluk Buntal dan Tanjung Gadai tidak dilibatkan.
 
PT NSP juga menyebutkan bahwa ada perubahan kualitas air di dalam sungai akibat dari zat yang ditimbulkan saat pengolahan, namun perusahaan dibawah bendera Sampoerna group ini juga membantah bahwa mereka tidak membuang limbah sembarangan, melainkan diolah kembali. PT NSP juga mengaku bahwa ada dua jenis limbah yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut, yakni limbah cair dan limbah padat, dimana limbah cair di olah menjadi pupuk, sedangkan limbah padat seperti Kulit sagu di olah kembali oleh PT Sara Rasa Biomass, seperti diketahui untuk mengolah menjadi pupuk PT NSP harus mengurus izinnya lagi, Sedangkan untuk limbah padat, PT Sara Rasa Biomass sudah tidak beroperasi lagi. 

Sedangkan saat pengolahan tepung sagu, PT NSP tidak menjelaskan secara rinci berapa volume air yang digunakan berkaitan dengan kapasitas Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang dipastikan tidak memiliki neraca air.

"Seharusnya ini harus direvisi kembali, Adendum ini terkesan dipaksakan sehingga tidak sesuai dengan yang terjadi dilapangan dengan yang disampaikan oleh pihak konsultan," kata Randolph.

Kritikan yang disampaikan tidak hanya sampai disitu, dari bagian hukum yang disampaikan Azmi SH mengatakan bahwa operasional PT NSP sebagian izinnya sudah kadaluarsa, serta izin konsultannya juga kadaluarsa.

"Saya ingin mempertanyakan kenapa izin HO dan SITU yang sudah kadaluardsa belum diurus, begitu juga juga dengan konsultannya serta dalam dokumen ini juga terdapat SK bupati Bengkalis tahun 2012 sebagai pertimbangan, sedangkan pada tahun 2012 kita sudah menjadi Kabupaten Sendiri,"kata Azmi.

Sementara Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Kepulauan Meranti, Drs H Irmansyah MSi menyebutkan tim mengambil keputusan akhir bahwa hasil keputusan sidang berkas adendum itu diputuskan untuk dilakukan revisi dengan memberikan tenggang waktu selama 2 tahun.

"Jika tidak selesai dalam jangka waktu yang ditetapkan, tim komisi akan memberikan sangsi kepada PT NSP. Sangsi yang diberikan dapat berupa pembatalan izin usaha secara hukum, artinya konsultan PT NSP bisa dikenakan pinalti dan izin perusahaan terancam dicabut," tegas Irmansyah.***wr