Misteri Hilangnya Gundukan Tanah di Makam Bung Karno

Selasa, 05 Januari 2016

Soekarno

PELITARIAU - Tanggal 21 Juni 1970, pukul 07.00 WIB, Bung Karno menghembuskan nafas terakhirnya. Ratusan ribu rakyat sudah menunggu di Blitar.

Bahkan, militer harus ekstra ketat menjaga lautan manusia yang ingin merangsek mendekat, melihat, menyentuh peti jenazah Bung Karno.

Dalam buku Total Bung Karno karya Roso Daras diceritakan, Panglima TNI Jenderal M. Panggabean menjadi inspektur upacara mewakili Pemerintah Republik Indonesia.

Prosesi pemakaman berlanjut. Peti jenazah pelan-pelan diturunkan ke liang kubur. Tak lama kemudian, liang kubur mulai ditutup timbunan tanah, saat itulah meledak tangis putra-putri Bung Karno, yang kemudian disusul ledakan tangis pelayat yang lain di sekitar makam.

Akhirnya, selesailah upacara pemakaman Bung Karno yang berlangsung sederhana tetapi khidmat. Acara pun ditutup tanpa menunggu selesainya peletakkan karangan bunga. Meski rombongan resmi sudah meninggalkan makam, tetapi ribuan manusia tak beranjak.

Bahkan, aliran peziarah dari berbagai penjuru negeri, terus mengalir hingga malam. Mereka maju berkelompok-kelompok, meletakkan karangan bunga, atau menaburkan bunga lepas di tangannya, kemudian berjongkok, atau duduk memanjatkan doa, menangis di dekat pusara Bung Karno.

Malam makin gelap, tetapi sama sekali tak menyurutkan lautan manusia mengalir menuju makam Bung Karno. Makin malam, makin gelap, tampak makin khusuk mereka bedoa. Ratusan orang meletakkan karangan bunga, ratusan orang menabur bunga lepas, tetapi puluhan ribu pelayat pergi membawa segenggam bunga.

Alhasil, karangan bunga dan taburan bunga yang menggunung si sore hari, telah habis diambil peziarah lain selagi matahari belum lagi merekah di ufuk timur. Habis bunga, peziarah berikutnya menjumput segenggam tanah di pusara Bung Karno, dan dimasukkan saku celana.

Tak ayal, tanah menggunduk di atas jazad Bung Karno pun menjadi rata. Inilah dalam ritual Jawa yang disebut “ngalap berkah”.

Seorang pelayat, dan ia adalah rakyat biasa, berkata, “Bung Karno adalah seorang pemimpin besar, Pak. Kami rakyat, sangat mencintainya. Sebagai kenangan, saya bawa pulang sedikit bunga ini.”

Begitulah, karangan bunga, taburan bunga, bahkan gundukan tanah pun dijumput para peziarah. Yang tampak keesokan harinya, 23 Juni 1970 adalah pusara berhias tanah merah.

Merah menyalakan semangat tiada padam. Biar pun jazad terkubur dalam tanah, semangat tak akan lekang dimakan waktu.

Biar jazad hancur menyatu dengan tanah, tetapi kobaran semangat perjuangan tetap menyala. Sukarno hanya mati jazad, namun ruh dan jiwanya tetap menyatu dengan rakyat. Hidup dan terus mewarnai semangat juang rakyat.

Bagi bangsa Indonesia, nama Bung Karno akan tetap dikenang, diingat karena perjuangannya, pengabdiannya, dan pengorbanannya yang dengan sepenuh hati telah ia baktikan.(viva)