Benarkah Bahasa Indonesia Membunuh Bahasa Daerah

Sabtu, 28 November 2015

JAKARTA-"Apa manfaat ekonomi yang diperoleh dengan mempertahankan bahasa daerah?" seorang peserta Konferensi Internasional Bahasa, Budaya, dan Masyarakat, di Jakarta dua hari lalu bertanya kepada Sarwo Ferdi Wibowo, peneliti dari Balai Bahasa Provinsi Bengkulu. Jika duit yang jadi ukuran, Sarwo pun tak bisa menjawab.

Dalam wawancara kerja atau karier di perusahaan, penguasaan bahasa daerah nyaris tak pernah jadi ukuran atau pertimbangan. Tapi, menurut Sarwo, banyak kearifan lokal bakal musnah bersama punahnya bahasa daerah. Di Pulau Enggano, pulau di sebelah barat Bengkulu, misalnya, praktek dan resep pengobatan tradisional banyak dilakukan dalam bahasa daerah.

"Jika ada orang mengeluh perihai alias sakit perut, dia akan diberi ramuan rempah-rempah dan jampi-jampi dalam bahasa Enggano," kata Gumono, peneliti dari Universitas Bengkulu. Yang jadi soal, penutur bahasa Enggano ini jumlahnya makin sedikit. Hanya tinggal orang-orang tua yang masih menggunakan bahasa Enggano dalam keseharian.

Dari 2.406 warga suku Enggano di empat desa di Pulau Enggano—Kaang, Malakoni, Apoho, dan Meok—hanya 1.424 orang yang masih aktif menggunakan bahasa daerah. Menurut Sarwo, makin banyak anggota suku Enggano yang menggunakan bahasa Indonesia. "Bahkan bahasa Indonesia sudah digunakan di lingkungan keluarga, terutama keluarga hasil kawin campur dengan suku lain," kata Sarwo.

Padahal, bisa dibilang, Pulau Enggano agak terisolasi dari dunia luar. Perlu belasan jam perjalanan dengan perahu motor dari pelabuhan Bengkulu untuk mencapai Pulau Enggano. Tapi ekspansi bahasa Indonesia demikian kuat dan cepat. Di sekolah-sekolah pun, menurut Gumono, bahasa Enggano tak pernah dipakai. Apalagi sebagian besar guru memang bukan keturunan suku Enggano.

"Dalam khotbah di gereja dan pernikahan pun bahasa Enggano mulai ditinggalkan, diganti dengan bahasa Indonesia.... Bahkan sebagian warga sepertinya menganggap bahasa Enggano sebagai bahasa kelas dua," kata Sarwo. Mereka beranggapan bahasa orang tua dan leluhurnya itu tak identik dengan kemajuan dan kehidupan modern. (detik)