Polemik Kawasan Hutan dan Hutan Adat

Jumat, 03 September 2021

Pada dasarnya aspek legal kawasan hutan sudah dibuat dalam peraturan perundang-undangan kehutanan yang saat ini berlaku, mulai dari UU sampai dengan peraturan perundang-undangan di bawahnya, sehingga pada hakekatnya eksistensi kawasan hutan sudah diakui secara Nasional, namun sampai saat ini keberadaan kawasan hutan selalu terusik oleh dinamika pembangunan secara keseluruhan, salah satu aspek yang perlu dicermati adalah persoalan sosial ekonomi di seputar kawasan hutan.

Memahami tentang kawasan hutan yang diharapkan, penyiapan perencanaan untuk menuju kepada mantapnya aspek hukum kawasan hutan akan dicapai, disamping itu juga dapat lebih mendukung para pengambil kebijakan khususnya dalam memutuskan segala sesuatu yang terkait dengan keberadaan kawasan hutan.

Banyaknya persoalan sosial ekonomi di sekitar kawasan hutan perlu mendapat perhatian lebih seperti tenurial, kesenjangan antar kawasan, perambahan kawasan hutan, kemiskinan sekitar kawasan serta benturan kepentingan antar otonomi daerah,

Secara umumnya tenurial dapat dimaknai jaminan atas hak dan mempunyai sudut pandang yang berbeda terhadap hak yang tumpang tindih atas sumber daya yang sama yang yang terkadang juga mengandung konflik, pengakuan hak terhadap lahan tersebut bisa bersifat individu, kelompok atau negara, pengakuan secara individu terhadap lahan yang bukan merupakan lahan yang dikuasai negara biasanya tidak menimbulkan banyak masalah karena sudah diatur secara tunggal dalam UU Agraria, namun pengaturan hak penguasaan oleh kelompok atau negara masih menjadi polemik yang berkepanjangan.

Acuan bagi pemerintah jelas pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa Kawasan hutan dikuasai oleh negara termasuk pengaturan-pengaturan terhadapnya, sedangkan hutan adat merupakan wilayah masyarakat adat atau masyarakat hukum adat yang berada dalam hutan negara, namun sebagian besar masyarakat khususnya masyarakat hukum adat lahan kawasan hutan tersebut secara pengakuan adalah merupakan hutan adat yang dikuasai oleh masyarakat, bukan merupakan bagian dari hutan negara, pengakuan hutan adat oleh masyarakat dalam UU memang telah disebutkan, namun pengaturannya belum jelas dan mendetail, sehingga muncul multi-interpretasi terhadap pengaturan kawasan hutan yang ada hutan adat didalamnya.

Polemik pengaturan lahan kawasan hutan inilah yang selalu menimbulkan permasalahan tenurial yang sangat komplek dalam kawasan hutan, dari sisi peraturan perundang-undangan secara hukum pengakuan penguasaan terhadap kawasan hutan oleh pemerintah sudah jelas, namun secara pengakuan permasalahannya tidaklah sederhana, apalagi model-model pengakuan penguasaan oleh masyarakat sangatlah lokal specifik, antara daerah satu dengan daerah lainnya sangatlah berbeda, namun secara meluas masyarakat hukum adat menginginkan kedaulatan dan hak penuh atas hutan yang berada di wilayahnya,

Jika diamati terdapat beberapa tipe keberadaan masyarakat adat dan hutan adatnya dalam keterkaitannya dengan kawasan hutan seperti yang terdapat dalam kawasan hutan yang telah diserahkan pengelolaannya kepada HPH/IUPHHK Hutan alam dan Hutan tanaman, yang terdapat dalam kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung (HL) serta yang terdapat di hutan produksi yang tidak dibebani hak pengelolaan/pemanfaatan,

Namun pemberian hak kepada pihak swasta oleh pemerintah untuk mengelola kawasan hutan dalam bentuk HPH/IUPHHK Hutan Alam maupun Hutan Tanaman biasanya selalu dipertentangkan dengan keberadaan hutan adat dalam kawasan hutan tersebut, dimana masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam pengaturan hak tersebut, merasa dimarginalkan dari tanah yang mereka kuasai, merasa tidak selalu mendapatkan manfaat dari keberadaan pengelolaan kawasan hutan tersebut,

Yang pada pokoknya Latar belakang kultur nilai-nilai budaya atau adat masyarakat setempat  dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan telah terbiasa menggunakan jasa lingkungan untuk kehidupan mereka sehari-hari untuk berladang, adanya surat izin pengelolaan hutan oleh Menteri Kehutanan yang sebelumnya tidak melibatkan masyarakat hukum adat itu sendiri hingga izin pengelolaan hutan tersebut dikeluarkan, Peraturan yuridis yang mengatur tentang pengakuan hak atas tanah milik masyarakat yang telah secara turun temurun berada diwilayah tersebut.

Selaku pelaksana Negara Pemerintah seharusnya dalam tindakan administrasi penuh pengkajian dan ketelitian, saat menerbitkan seuatu beschiking, dikarenakan akibat kelalaian sehingga masyarakat merasa hukum tidak pernah ada, yang ada justru kekuasaan yang dipaksakan dalam pelaksanaanya, supremasi hukum bagaikan macan ompong, kehadiran suatu ketetapan justru menjadi kontroversi yang akhirnya membawa pertentangan hukum, 

berdasarkan Undang- Undang  Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Tentang Pokok-Pokok Agraria sebagi berikut :

Pasal 3.

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

Pasal 5.

“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.

Konsep Negara yang masih menempatkan hutan adat sebagai akses legal bertentangan dengan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 35 Tahun 2012. Pertimbangan MK menugaskan pemerintah mengeluarkan wilayah hukum adat dari kawasan hutan negara, jadi tidak sekadar hanya akses legal Atau dengan kata lain, hutan adat yang dikeluarkan dari kawasan hutan negara namun direduksi hanya sekadar akses legal,

Lebih lanjut  pada Putusan Nomor 35 Tahun 2012 yang dalam pertimbangannya  “hutan adat adalah hutan berada dalam wilayah masyarakat hukum adat,” maka menggunakan penafsiran argumentum a contrario, hutan adat kemudian sejajar dengan hutan Negara,

Menteri Kehutanan Republik Indonesia menyambut Positif putusan MK nomor 35 tahun 2012 serta mengeluarkan Surat Edaran tertanggal 16 Juli 2013 yang pada pokoknya dalam poin II (dua romawi) yang isinya :

Beberapa pasal dalam Undang-undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 19 Tahun 2004, yaitu :

Pasal 1 angka 6, menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada didalam wilayah masyarakat hukum adat”,
Pasal 4 ayat (3), menjadi “ Penguasaan hutanoleh Negara tetap mkemperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang”. Dengan demikian pasal 4 ayat (3), diberlakukan terhadap masyarakat hukum adat yang keberadaannya belum ditetapkan dengan Peraturan Daerah ( Perda ).

Pasal 5 ayat (1), menjadi “Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
Hutan Negara,
Hutan Adat; dan Hutan Hak.
Penjelasan pasal 5 ayat (1) alinea ke satu “dihapus”,

Pasal 5 ayat 2 “dihapus”,
Pasal 5 ayat (3), menjadi “pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui nkeberadaannya.

Dalam hal ini yang menetapkan status Hutan Adat adalah Menteri Kehutanan, sepanjang keberadaan masyarakat hukum adat telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) berdasarkan hasil penelitian oleh tim sebagai mana dimaksud dalam pasal 67 dan penjelasan pasal 67 Undang-Undang nomor 41 tahun1999 tentang Kehutanan, yang telah diubah dengan Undang-Undang nomor 19 tahun 2004.

Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak adalagi, maka hak pengelolaan hutan adat dikembalikan kepada Pemerintah, dan status hutan adat beralih menjadi hutan negara.

Sesuai dengan Undang-Undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah konstitusi, sebagai mana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 8 tahun 2011, maka Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PPUX/2012 mulai berlaku sejak tanggal 16 Mei 2013.

Sama halnya dalam Putusan MK RI Nomor 45 Tahun 2011 yang dalam putusannya,
“dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak mempunya kekuatan Hukum Mengikat”.

Berdasarkan Putusan MK No. 45 Tahun 2011  serta yang ditindaklanjuti dengan peraturan- peraturan yang dikeluarkan Menteri Kehutanan RI, atau Menteri KLH RI, tahapan penetapan kawasan hutan yaitu:
1. Penunjukan kawasan hutan;
2. 2. Pemetaan kawasan hutan;
3. 3. Tata batas kawaasan hutan;
4. 4. Penetapan kawasan hutan. **

 

FEBY SUTAMA HARAHAP, S.H., M.H ( Penulis merupakan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jambi )