Bankeu Desa Dipotong Rp15 Juta, Fitra Riau: Kebijakan Pemprov Riau Salah

Kamis, 03 September 2020

Kantor Gubernur Riau.

PELITARIAU, Pekanbaru - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau mengeluarkan kebijakan pemotongan Bantuan Keuangan (Bankeu) untuk Pemerintah Desa se-Riau tahun 2020.

Tak hanya itu, Pemprov Riau juga tidak jadi membayar honorarium/insentif kader Pemberdaya Masyarakat Desa (PMD) Ekonomi yang sebelumnya dijanjikan. Kebijakan itu dilakukan dengan alasan kondisi keuangan yang tidak mencukupi situasi Covid-19.


Koordinator Fitra Riau Triono Hadi menilai kebijakan tersebut tidak tepat. Bahkan dapat disebut sebagai kebijakan yang salah khususnya kepada kader PMD yang telah direkrut dan bekerja dalam beberapa bulan ini. Semestinya banyak cara yang bisa dilakukan oleh gubernur mengatasi situasi tersebut.


Dia mengatakan, Pemprov Riau melalui APBD tahun 2020 telah menganggarkan bantuan keuangan ke desa sebesar Rp200 juta per desa. Namun dengan alasan kondisi Covid-19 yang mengakibatkan kondisi keuangan daerah terdegradasi (menurun), maka dikurangi menjadi Rp100 juta per desa, karena harus digunakan untuk penanganan Covid-19 dalam bentuk bansos atau Bantuan Tunai Langsung (BTL)


Masih kata Triono, melalui surat yang dikeluarkan oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Kependudukan (DPMD-Dukcapil) Provinsi Riau Nomor 415/DPMD-DUKCAPIL/409 tentang Petunjuk Teknis Rasionalisasi BKK Desa 2020 pada Juli 2020, meminta kepada kepala desa salah satunya untuk menghapus biaya honorarium Kader DPM-Ekonomi sebesar Rp15 juta per desa dalam APBDesa 2020. Karena biaya untuk membayar itu berasal dari Bankeu Desa yang akan disalurkan Provinsi dan rasionalisasi.


Sementara, berdasarkan informasi yang diperoleh Fitra Riau dari beberapa desa, kader PMD Ekonomi telah direkrut dan telah bekerja sejak Januari 2020 lalu. Karena itu, penghapusan anggaran dengan alasan rasionalisasi tersebut adalah kebijakan yang sangat tidak tepat, karena menyangkut hak orang yang telah melaksanakan tugas.


"Kebijakan itu kontra produktif dengan kebijakan pada situasi Covid-19. Disatu sisi pemerintah berupaya mengurangi dampak sosial dan ekonomi, disisi lainnya pemerintah justru mengambil kebijakan yang justru memberikan dampak sosial ekonomi bagi warganya," tegas Triono Hadi.


Menurutnya, saat ini daerah sedang mengalami gejolak ekonomi dan keuangan. Karena itu, Fitra Riau menyarankan gubenur Riau mengambil langkah yang lebih bijak.


Ia mengatakan, ada dua alternatif cara yang dapat dilakukan gubernur Riau. Pertama, tanpa merasionalisasi anggaran bantuan keuangan khusus (BKK) untuk honorarium kader DPM-Ekonomi. Jika dihitung, anggaran Rp15 juta untuk 1592 desa itu adalah sebesar Rp23,8 miliar. Seharusnya pemerintah daerah dapat melakukan penyesuaian pada belanja -belanja daerah lainnya. Misalnya, diambil dari belanja pegawai, berdasarkan data BPKAD yang diterima, alokasi belanja pegawai provinsi Riau 2020 hanya dirasionalisasi 5,4 persen dari sebelumnya Rp2,4 triliun menjadi Rp2,3 triliun.


Selain itu, anggaran yang dialokasikan untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) hanya berkurang 20 persen dari anggaran sebelumnya Rp332,6 miliar menjadi Rp257,9 miliar. Perlu diketahui anggaran untuk DPRD 98 persen digunakan untuk belanja habis pakai, dalam bentuk belanja perjalanan dinas dan kegiatan rapat-rapat. Juga pada OPD lainnya seperti Sekretariat Daerah dan OPD lainnya, sehingga masih banyak ruang untuk mencari Rp23 miliar untuk desa.


Solusi kedua, dirasionalisasi tanpa menghilangkan kegunaan honorarium Kade PMD-Ekonomi. Rasionalisasi Bankeu desa tidak 100 persen dihilangkan, melainkan Pemprov masih akan memberikan Bankeu Khusus ke desa sebesar Rp85 juta per desa. Oleh karena itu, seharusnya Pemprov tetap memberikan ruang kepada desa untuk membayar honorarium Kader PMD Ekonomi dari Bankeu yang akan disalurkan itu, dengan tetap melakukan evaluasi kinerja yang terukur kepada kader PMD Ekonomi sesuai dengan tujuan awal yang ditetapkan. **prc4


sumber: cakaplah