Hijrah Butuh Pembuktian

Selasa, 18 Agustus 2020

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab LC MM

PELITARIAU - Pada 20 Agustus 2020 umat Islam memperingati tahun baru 1442 Hijriah. Jelas sebuah kerugian jika di hari istimewa miskin diskursus guna meresapi nilai-nilai dibalik peristiwa.

Terlebih kondisi sekarang yang butuh resolusi untuk hadapi berbagai problematika dan tantangan baik pribadi, sosial dan berbangsa dan bernegara; Menghadapi cobaan pandemi dan realita lainnya. Karena pengetahuan adalah kekuatan, begitu pepatah berujar. Peristiwa hijrah merupakan konsep yang adaptif lintas zaman, maka cara terbaik memperingatinya dengan mengkaji dan menerapkan.

Karena manfaat dan nilai maslahat bukan saja bagi umat Islam, tetapi manusia secara keseluruhan. Begitulah wujud karakter ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin. Peristiwa hijrah telah menjadi fragmen penting dalam sejarah peradaban dunia, membawa manusia dari kondisi kejahiliyahan menuju pemuliaan manusia melalui kebaikan pola pikir dan perbuatan.

Hijrah mengandung interpretasi makaniyah dan ma’nawiyah. Secara makaniyah hijrah bentuk perpindahan secara fisik dari satu tempat ke tempat lain, mengacu pada peristiwa pindah Rasul dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah.

Sementara secara ma’nawiyah bisa interpretative. Meninggalkan hal buruk menuju sesuatu lebih baik; Hijrah dari kesyirikan menuju tauhid yang berimplikasi pengharapan total ke Allah SWT bukan dari sisi manusia yang lemah; Berpindah dari kehidupan jahiliyah yang mengubur fitrah ke kehidupan Islami yang menyuburkan berkah; Komitmen terhadap kebenaran dengan segala tingkat kemampuan (tangan, lisan dan hati) dan tidak bersebarangan apalagi mendukung kebatilan.

Maknawi

Pemaknaan juga bisa kontekstual dengan kondisi sekarang dalam menyikapi pandemi yang bikin frustasi. Perlu hijrah dari kebiasaan lama yang lalai menjaga keseimbangan hidup serta keselarasan dengan alam dan lingkungan menuju kebiasaan baru lebih baik.

Peduli terhadap aspek kesehatan jasmani dan rohani hingga interaksi dengan lingkungan dan alam yang selama wabah seakan memulihkan diri dari marabahaya dan ancaman lebih serius jika terus terjadi kerusakan (ekosida).

Negara seantero dunia juga seolah satu dalam pikiran dan tindakan membenahi pendekatan kebijakan dan regulasi yang lebih peduli lingkungan, kesehatan dan kualitas kehidupan manusia terutama mereka yang selama ini rentan dan termarginalkan.

Bicara maknawi lebih banyak lagi yang bisa diperoleh dari setiap detail peristiwa hijrah, yang memang dipersiapkan sebagai warisan dan pelajaran. Namun secara garis besar ada dua hal yang diangkat dalam kesempatan kali ini.

Pertama, peristiwa hijrah menyiratkan metodologi perubahan dan rekayasa sosial. Substansi peristiwa perpindahan Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya ke satu tempat ke tempat lain adalah saat mengambil keputusan berhijrah.

Sebelum hijrah Nabi Muhammad SAW telah membangun perangkat yang bisa menjaga komitmen keimanan sekaligus menyiapkan instrumen agar dimensi kehidupan dapat beradaptasi dengan cara pandang ajaran Islam. Tahapan tersebut tidak berlangsung instan, butuh waktu lama dan komitmen.

Sekarang inilah aspek yang sering diabaikan. Banyak pihak yang ingin merubah sesuatu ke arah lebih baik namun tergesa-gesa tanpa melihat akar masalah. Begitujuga di level negara dan pemerintahan, kebijakan kerap diambil secara terburu-buru tanpa melihat azas dan kebutuhan rakyat atas kebijakan itu. Sehingga ujungnya sia-sia dan bahkan wanprestasi.

Kedua adalah membangun sistem. Dalam fase hijrah tampak perubahan pendekatan. Menilik sejarah hijrah ada perubahan mendasar karakter dakwah Nabi Muhammad Saw antara sebelum dan sesudah hijrah. Dalam buku karangannya, sejarawan internasional Tamim Ansari pada karya best seller-nya berjudul Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia versi Islam memaparkan secara praktis perbedaan utama sebelum dan sesudah hijrah.

Sebelum hijrah, karakter dakwah Nabi Muhammad SAW dengan pengikut individual dan berorientasi menjaga komitmen dalam kelompok terbatas.

Namun setelah peristiwa hijrah beralih ke kepemimpinan masyarakat, mendapatkan sejumlah kesepakatan sosial berkekuatan hukum dengan kelompok lain, membangun instrumen politik dan mengokohkan manfaat ajaran Islam bagi dimensi kehidupan serta kenegaraan berikut memperkuat bimbingan sosial.

Intinya, mendorong kesalehan pribadi kepada kesalehan sosial. Inilah esensi kehadiran Islam di tengah peradaban manusia.

Berkaca pada sejarah tadi, tidak berlebihan menyimpulkan bahwa Islam memosisikan power sebagai modal dan perangkat untuk menkonversi nilai-nilai ke dalam praktik kehidupan. Dan tak heran ajaran Islam berafiliasi sedemikian dalam ke wilayah publik. Dimensi politik, ekonomi, sosial dan budaya dan yang punya kaitan erat dengan peradaban manusia tak lepas dari perhatian.

Tujuannya bukan menonjolkan sentimen keagamaan atau hegemoni kelompok. Tapi demi tatanan sosial ideal, yang efek sederhananya misal dalam politik rakyat memperoleh hak azasinya atas kehadiran pemerintah. Karena ajaran Islam punya konsep paripurna bagi kehidupan manusia. Penerapannya sudah terbukti dan dicatat dalam tinta emas sejarah.

Ajaran Islam pun berorientasi kepada kolektivitas dan memberi naungan nyaman bagi berbagai kelompok. Lihatlah negara Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW paska peristiwa hijrah sebagai salah satu role model penerapan demokrasi modern dan pruralisme.

Berikut masa pemerintahan para sahabat Nabi sampai Baghdad di era kejayaannya dan Turki Utsmani. Ini berkat ajaran yang meletakan keberagaman sebagai pondasi kehidupan. Karena mustahil mencapai perubahan ke arah lebih baik jika kita terus mencari perbedaan.

Maka pada momen spesial Tahun Baru Hijriah, saatnya kontemplasi diri. Bertanya sejauh mana kita larut dalam agenda perbaikan diri, masyarakat dan bangsa. Dalam Islam, dakwah bukan melulu ceramah. Tapi dakwah contoh ke semua lini dan sektor, implementasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan.

Karena ibadah tanpa aspek muamalah bisa sia-sia. Contohnya ajaran Islam paling aplikatif semisal potensi melalui zakat dan wakaf yang sayangnya belum optimal. Supaya potensi kebaikan tersebut dapat dirasakan kemaslahatan nya, maka PR bagi umat Islam dan juga bagi pemerintah selaku regulator dan pembuat kebijakan untuk mengarahkannya.

Intinya, Islam telah menyediakan perangkat yang sangat komplit dan memadai sebagai solusi. Ajaran Islam juga menekankan bahwa memperbaiki keadaan lebih baik daripada berkeluh kesah meratapi keadaan. Sekarang tinggal eksekusi. Insya Allah dengan usaha dan upaya yang tak kenal lelah, sabar dan tawakal, balasan dari Allah Swt akan setimpal. Ingatlah, bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan.

"Putaran zaman itu menakjubkan, sekali waktu engkau akan mengalami keterpurukan, tetapi pada saat yang lain engkau memperoleh kejayaan. **prc4

sumber: cakaplah