Kementerian PPPA: Negara Menjamin Hak Anak untuk Mendapatkan Pendidikan

Selasa, 21 Juli 2020

PELITARIAU, Jakarta - Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Indra Gunawan mengatakan negara menjamin hak anak untuk mendapatkan pendidikan.

"Sekarang ini kita menghadapi banyak tantangan terutama karena kondisi COVID-19. Tapi pendidikan harus berjalan dan tahun ajaran baru sudah masuk, tentunya anak-anak tetap harus mendapatkan haknya, tetap harus bersekolah," ujar Indra dalam Webinar Media dan Pendidikan Anak di Era Pandemik, yang digelar Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) bersama Kemen PPPA untuk menyambut Hari Anak Nasional, Selasa (21/7/2020).


Sementara itu Pendiri Sekolah Cikal, Najeela Shihab mengatakan, kesenjangan dalam pendidikan dan variasi sumber daya adalah isu yang ada puluhan tahun di ekosistem pendidikan kita, tapi semakin nyata di situasi pandemi ini.


Najeela mengidentifikasi sejumlah risiko jangka menengah dan panjang akibat COVID-19 kepada murid, guru dan tenaga kependidikan serta sistem persekolahan.


Permasalahan yang dihadapi murid antara lain,  kesenjangan capaian pembelajaran dan hilangnya kesempatan berprestasi, tidak ada akses kegiatan pendukung pembelajaran seperti untuk pelajaran agama, olahraga, karyawisata, ekstrakulikuler, dll.


"Anak-anak berkebutuhan khusus, inklusi tidak mendapatkan pelayanan pendidikan sebaik saat proses pembelajaran berjalan dengan tatap muka," jelasnya.


Problem lain adalah bakal banyak anak yang putus sekolah. Selain iti guru pun juga menghadapi masalah seperti beban berlebihan karena perubahan cara kerja yang signifikan.


Menurutnya, guru juga bisa mengalami penurunan motivasi karena pengaruh kondisi sosial emosional, serta tidak ada akses pelatihan dan pengembangan profesi yang esensial untuk peningkatan kompetensi.


"Secara umum kapasitas guru untuk menghasilkan materi ajar, konten-konten pembelajaran jarak jauh itu sangat rendah sebelum pandemi. Ada yang berhasil meng-upgrade kompetensinya dengan cepat tapi ada juga yang tidak," kata Najeela.


Masalah lain adalah guru tidak mampu melibatkan orangtua dalam proses belajar mengajar, serta tidak memiliki kapasitas untuk membuat materi untuk pembelajaran jarak jauh (PJJ).


"Pada masa COVID-19 ini pelibatan orangtua menjadi sangat esensial," lanjutnya.


Najeela menekankan bahwa pendidikan tatap muka selama ini belum tentu efektif. Namun fungsi pendidikan itu seharusnya betul-betul menjadi jembatan untuk masa depan.


Menurutnya, tujuan pembelajaran itu untuk menumbuhkan orang-orang yang berkomitmen, mandiri, reflektif, cerdas, komunikatif, mampu bekerja sama, inovatif, berprinsip dan berorientasi pada tindakan.


"Banyak hal yang membuat kita tergagap saat masa pandemi ini adalah saat kita mendefinisikan tujuan belajar itu dengan sangat sempit seolah-olah semua tujuan pembelajaran itu hanya bisa terjadi hanya dalam setting kelas, tatap muka, padahal sesungguhnya banyak cara lain yang bisa kita eksplorasi," jelasnya.


Sementara itu, Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Uni Lubis mengatakan media dan jurnalis, terutama jurnalis perempuan di masa pandemik COVID-19 ini perlu meningkatkan empati dan perhatian terhadap isu-isu terkait perempuan dan anak.


"Kembali ke provinsi masing-masing ke lingkungan masing-masing dan melihat bagaimana pelaksanaan PJJ selama pandemik. Solusi kearifan lokal apa yang diambil oleh guru, orangtua, dan sekolah selama ini," kata Uni.


Uni menjelaskan, sebelum pandemik saja di dunia itu ada 258 juta anak yang  putus sekolah. Sesudah pandemik yang mendatangkan darurat pendidikan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya ada tambahan 10 juta anak yang putus sekolah. Data Unesco menyebutkan bahwa per April 1,6 miliar anak harus diliburkan baik dari sekolah maupun universitas. **prc4