UGM Ingatkan Stok Pangan Jika Lockdown Atau PSBB Diberlakukan

Ahad, 12 April 2020

Kepala Laboratorium Teknik Fisika Hayati Departemen Teknik Pertanian dan Biostem Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Bayu Dwi Apri Nugroho

PELITARIAU, Jakarta - Kepala Laboratorium Teknik Fisika Hayati Departemen Teknik Pertanian dan Biostem Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Bayu Dwi Apri Nugroho, menilai bahwa kebijakan pembatasan fisik yang ketat dan masif (lockdown), untuk mengatasi sebaran COVID-19, jika tak ada kesiapan dari distribusi dan logistik pangan.

Terlebih dalam situasi cadangan pangan nasional Indonesia yang sangat terbatas. Menurutnya, strategi menjaga kelangsungan sistem produksi pangan merupakan kunci suksesnya kebijakan dalam berperang melawan virus corona.

"Belum ada yang tahu, kapan perang global melawan COVID-19 akan berakhir,"ujar Bayu, Minggu (12/4/2020) melalui nomor pribadinya.

Baginya, penerapan strategi manajemen ketahanan pangan jangka pendek, menengah dan panjang sangat diperlukan. Bangsa ini masih beruntung, serangan virus corona datang saat kita sedang panen raya padi. Di mana Data Kementerian Pertanian menunjukkan, target produksi padi nasional 2020 sebanyak 59,15 juta ton gabah kering giling (GKG), setara 37,26 juta ton beras.

Dengan asumsi angka konversi padi ke beras di panen musim hujan 63 persen. Artinya tiap 100 kilogram GKG yang digiling, menghasilkan 63 kilogram beras. Bila produksi padi Januari - Juni 2020 dari hasil tanam musim hujan Oktober 2019 - Maret 2020 memberi kontribusi 60 persen dari total produksi beras nasional, sampai akhir Juni 2020 bakal tersedia beras di seantero wilayah Indonesia 22,36 juta ton.

Dengan menghitung konsumsi beras bulanan rakyat Indonesia 2,6 juta ton, atau menjangkau sekitar 85 persen dari total konsumsi penduduk Indonesia, maka produksi beras hasil tanam musim hujan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional selama 8,5 bulan. Jika dilihat secara asumsi, maka akan terlihat aman.

"Tapi jangan senang dulu. Ketahanan beras 8,5 bulan itu dalam hitungan bulan berjalan, untuk masa panen Januari - Juni 2020. Sekarang ini masih akhir Maret 2020, musim panen baru tiga bulan berjalan. Artinya ketersediaan beras riil, baru 50 persennya atau hanya cukup untuk konsumsi 4 bulan 7 hari,"tambahnya.

Hanya saja, pada kenyataannya beras tersebut bukan di tangan atau dalam penguasaan Pemerintah (pusat maupun daerah). Sebab kebiasaan petani, akan menyimpan sebagian hasil panen mereka untuk cadangan pangan keluarganya. Juga untuk modal usaha musim tanam berikutnya. Di mana petani biasa menyimpan gabah minimal setara 3 - 6 bulan konsumsi keluarga.

Sementara sebagian beras masih ada di penebas, tengkulak, penggilingan kecil dan sebagian penggilingan besar, juga pedagang. Tentu sebagian kecil ada di masyarakat, untuk stok dapur beberapa hari. Dari total ketersediaan beras 4 bulan 7 hari, yang sudah kita konsumsi secara nasional selama tiga bulan (Januari - Maret 2020), setara 7,8 juta ton.

"Dengan kata lain, sisa beras dari panen tiga bulan itu yang belum dikonsumsi (cadangan beras nasional), hanya cukup untuk makan rakyat Indonesia selama 1 bulan 7 hari ke depan,"paparnya.

Selama ini, Stok beras Pemerintah ada di Perum Bulog aman untuk menjamin kebutuhan masyarakat. Data Bulog menunjukkan, sampai awal Maret 2020 stok beras di Perum Bulog sebanyak 1,6 juta ton yang tersebar di 1.647 unit gudang Bulog. Namun ia menganggap stok beras di Bulog tidak mungkin cukup. Paling banter hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional 18 hari.

Dengan kata lain, ketahanan beras nasional Bangsa Indonesia, baik yang di lapangan maupun di Bulog, maksimal hanya cukup untuk makan kurang 2 bulan ke depan saja, kalau tidak lagi ada panen dan produksi. Mungkin ada sedikit tambahan dari sisa stok tahun lalu di pasar.

Oleh karena itu, melihat dari perspektif ketahanan beras, bisa dipahami kalau kebijakan Pemerintah dalam mengatasi serangan virus corona tidak serta-merta emosional dan panik dengan melakukan lockdown. Tapi dengan pendekatan yang sedikit berbeda. Di mana, pembatasan fisik yang dijalankan dengan ketat dan masif, apalagi sampai ke daerah-daerah sentra produksi beras, membuat sistem produksi dan supply beras untuk bulan-bulan berjalan terganggu bahkan bisa saja sampai terhenti.

"Dengan tidak melakukan lockdown total, pabrik-pabrik penggilingan padi skala kecil dan besar masih tetap beroperasi,"tambahnya.

Mungkin, lanjutnya, selama ini banyak pihak tidak “aware” mengenai data dan informasi di pertanian khususnya mengenai produktifitas pertanian. Banyak orang yang melihat data dan informasi mengenai pertanian ini hanya sebatas laporan saja, tanpa melihat bagaimana urgensi kedepannya.

Imbas dari WFH dan pembatasan kontak ini tentunya pada ketersediaan pangan di pasar. Karena bagaimanapun ketersediaan pangan ini harus tetap terjaga dan bisa menjamin orang-orang yang melakukan WFH dan pembatasan kontak ini tercukupi dan terjamin kesehatannya. **prc4

 

sumber: kumparan