Sidang Pra Pradilan, Hakim Debora Terkejut Dengan Keterangan Saksi Ahli Pidana Dari Kejaksaan Inhu

Ahad, 11 Juni 2017

Hakim tunggal PN Rengat, Debora Maharani Manulang,SH,MH memimpin sidang pra pradilan dengan termohon Kejaksaan Inhu Jum,at (9/6/2027) di rungan sidang PN Rengat

PELITARIAU, Inhu - Dua saksi ahli dalam sidang pra pradilan yang dihadirkan pemohon tersangka Charfios Anwar yang juga Fasilitor Kecamatan (FK) sepakat, kalau sebuah peristiwa pidana dalam dugaan korupsi harus bisa dibuktikan kerugian negara oleh penyidik. Mendahulukan bukti pokok kerugian negara sesuai hasil putusan Mahkamah Konstitusi MK nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017.

Dalam sidang pra pradilan tersebut, sidang dipimpin hakim tunggal, majelis hakim Debora Maharani Manulang SH MH, Jum'at (9/6/2017) di Pengadilan Negeri (PN) Rengat dengan agenda melihatkan bukti-bukti dan mendengarkan keterangan saksi dari pemohon dan termohon.

Tiga orang saksi ahli dihadirkan dalam sidang pra pradilan tersebut, dua saksi ahli dari pemohon adalah, ahli hukum pidana DR Erdianto Efendi SH Mhum dan ahli hukum administrasi dan teta usaha negara DR Mexsasai Indra SH MH yang sama-sama dari Universitas Riau di Pekanbaru. dari termohon Kejaksaan Inhu menghadirkan seorang ahli hukum pidana DR Syahrudi SH Mhum dari Universitas Jambi.

Dalam fakta persidangan, ahli hukum pidana DR Erdianto Efendi SH Mhum menjelaskan, kalau spirit KUHP adalah menghormati hak manusia. Lembaga penegak hukum harus hati-hati dalam menerbitkan sebuah sprindik dan menetapkan seseorang sebagai tersangka. Unsur tindak pidana korupsi adanya kerugian negara, dahulu proses perkara korupsi bisa dilakukan dengan adanya potensi kerugian negara, sekarang sudah terjadi pergesar dari delik formil ke delik materil," kata Erdianto.

Putusan MK nomor 25/PUU-XIV/2016 tertanggal 25 Januari 2017 menjelaskan, kalau pasal 2 dan pasal 3 dalam undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) adalah delik materil. Kebenaran atas peristiwa tindak pidana korupsi harus lebih dahulu diberikan oleh BPK atau lembaga berwenang.

"Hukum acara pidana tidak boleh multi tafsir, dengan adanya hasil audit BPK atau lembaga berwenang, maka akan ditemukan kerugian negara secara ril dan pasti," kata Erdianto.

Kerugian negara semantara tidak bisa berlaku dalam sidang pembuktian, sebab dicontohkannya kedudukan sebuah Surat Keterangan Mengemudi (SIM) semantara, apakah kedudukaannya sama dengan SIM resmi. Apakah SIM semantara ada diterbitkan sebelum SIM asli terbit. "Dengan demikian hukum pidana itu penafsiranya pasti, tidak ada penafsiran lain." jelasnya.

Selanjutnya, ahli hukum administrasi dan teta usaha negara DR Mexsasai Indra SH MH menjelaskan, kalau kedudukan putusan MKĀ  sama kedudukannya dengan undang-undang. Penerapan pasal 2 dan pasal 3 dalam PTPK harus mengacu pada putusan MK, sehingga menjadi delik materil.

Selanjutnya kata Mexsasai, putusan MK lebih tinggi dari surat edaran dan, surat edaran hanya untuk peraktek pemerintahan. "Menghitung kerugian negara haruslah dilakukan oleh lembaga berwenang dalam hal ini adalah BPK," ucapnya.

Dalam melakukan audit, biasanya orang tersebut keilmuannya lebih pada bidang ekonomi, tidak tepat dan tidak patut seorang penyidik penegak hukum melakukan penghitungan kerugian negara walau hanya bersifat semantara. "Dalam melakukan audit kerugian keuangan negara, harus sesuai dengan tugas pokok dan fungsi lembaga negara," jelasnya.

Berdasarkan putusan MX tahun 2012, audit mencari kerugian negara ada tiga lembaga, diantaranya adalah BPK, BPKP dan Inspektoran atau lembaga berwenang, namun kerugian negara lebih tepat menurut Mexsasai adalah BPK. "Tindak pidana dalam kerugian negara, itu harus dilihat peraturan pokok dalam sebuah kegiatan membelanjakan keuangan negara," jelasnya.

Sedangkan Ahli hukum pidana, DR Syahrudi SH Mhum dari Universitas Jambi yang dihadirkan termohon Kejaksaan Inhu berbeda pendapat, kalau kerugian negara harus bisa dibuktikan penyidik di dalam persidangan pokok perkara . "Tanpa hasil audit BPK atau lembaga berwenang, jaksa bisa menghitung kerugian negara, pokok perkara nanti dibuktikan di pengadilan, sebelum dilakukan penetapan tersangka, penyidik di kejaksaan biasanya menggelar exspos kalau, penyidik polisi biasanya dengan gelar perkara untuk menetapkan tersangka atau menghentikan perkara," jelasnya.

Pernyataan saksi ahli termohon membuat majelis hakim Debora Maharani Manulang terkejut, kemudian dia menanyakan tentang pristiwa pidana dalam perkara korupsi "Apakah tidak penting hasil penghitungan kerugian negara yang dikeluarkan oleh BPK atau lembaga berwenang, untuk sebuah perkara korupsi," tanya Hakim Debora.

Saksi ahli termohon dari Kejaksaan negeri Inhu berpendapat, kalau putusan MK tidak penting untuk perkara dugaan korupsi yang sedang dilakukan penyidikannya, sebab dalam perkara korupsi penyidik tidak perlu menjadikan hasil audit kerugian negara sebagai alat bukti. "Pasal 31 KUHAP soal penahanan dan penyidik harus tunduk pada kuhap," jelas DR Syahrudi dari Universitas Jambi.

Usai mendenggar jawaban saksi ahli dari termohon kejaksaan Inhu, hakim Debora memberikan pemahaman kepada pemohon agar, bisa memaklumi dan mengerti, walaupun pernyatan dan keterangan saksi ahli tidak berdasar, namun keterangan yang diberikan oleh saksi adalah sesuai dengan keilmuannya.

Dalam sidang pra pradilan yang berlangsung selama lebih kurang 13 jam tersebut, sidang dimulai sejak pukul 09.00 WIB sampai dengan Pukul 22.00 WIB jum,at (9/6/2017) pemohon dan termohon saling memperlihatkan bukti dan menghadirkan saksi, pemohon Charfios Anwar melalui kuasa hukumnya Dody Fernando SH MH, Yenny Darwis SH, El Hadi SH.

Termohon dalam hal ini Kejaksaan Inhu diwakili Agus Sukandar dengan jabatan Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Inhu, Nur Winardi dengan jabatan Kasi Pidana Umum (Pidum) Kejari Inhu, Hendri Lubis Kasi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) kejari Inhu dan Rional sebagai jaksa fungsional Kejari Inhu. **Andri/Tim