Diberikan Fakhrunnas MA Jabbar, Budayawan Dapat "Air Mata Musim Gugur"

Sabtu, 11 Februari 2017

Dua tokoh nasional Arswendo dan Meutya menerima buku dari ketua DKD PWI Riau Diberikan Fakhrunnas MA Jabbar

PELITARIAU, Pekanbaru - Berbagai pristiwa penting dialami oleh masing-masing Delegasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dari masing-masing Provinsi saat mengikuti rangkaian acara Hari Pers Nasional (HPN) di Maluku tahun 2017, salah satu rangkaian acara yang diikuti sejak 5 Ferbruari hingga hari puncak HPN 9 Februari 2017 tersebut satu dari ribuan wartawan se-Indonesia yang datang ke Provinsi Maluku, salah satunya ikut mengabadikan adalah wartawan senior Fakhrunnas MA Jabbar asal Riau.
 
Fakhrunnas MA Jabbar, saat ini menjabat Dewan Kehormatan Daerah (DKD) PWI Riau, dimana Fakhrunnas  tiba di Maluku sedang mengikuti rangkaian HPN 2017, ketika di Maluku Fakhrunnas banyak bertemu dengan sahabat-sahabatnya salah satunya adalah wartawan senior yang dikenal sebagai budayawan nasional Arswendo Atmowiloto.
 
Selain Fakhrunnas bertemu dengan Arswendo Atmowiloto, sempat diabadikan pelitariau saat Fakhrunnas bertemu dengan sahabatnya wartawan salah satu stasiun televisi Meutya Hafid, yang saat ini Meutya Hafid duduk di kursi DPR RI di sebagai anggota komisi I. Akasi kocak dari sisi wartawan senior di Riau ini Fakhrunnas, tetap terlihat saat bertemu dengan teman lamanya.
 
Ketika istirahat malam di hotel Atlantic kota Ambon, Fakhrunnas bercerita kalau dirinya selalu membawa buku karyanya di setiap acara yang dihadirinya, salah satu buku yang dibawanya saat hadir dalam acara HPN 2017 di Provinsi maluku, Fakhrunnas membawa buku kumpulan puisi yang di susunya dengan judul "Air Mata Musim Gugur".
 
"Biasalah, namanya juga bertemu kawan lama, untuk kenang-kenangan saya memang sering memberikan buku kenang-kenangan yang saya buat kepada teman-teman saya," kata Fakhrunnas.
 
Seorang wartawan, apalagi anggota PWI hendaknya hadir dalam momen acara kewartawanan, apalagi HPN adalah peringatan yang sangat penting untuk dunia wartawan sebab, pada 9 Februari tahun 1946 adalah waktu berkumpulnya tokoh pers nasional dalam membuat wadah PWI. "HPN bukan hanya untuk PWI namun juga untuk seluruh masyarakat Indonesia dan untuk orang yang menekuni profesi sebagai wartawan," ucapnya.
 
Dimata Fakhrunnas, wartawan adalah profesi yang tidak bisa terpisah dari sistim pelaksanaan pemerintahan yang demokrasi, sebab menurutnya wartawan adalah pilar terpenting dalam pemerintahan yang demokrasi. "Kita sebagai wartawan harus bangga, banyak negara yang mengakui kalau UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers di Indonesia terbagus dan sangat luar biasa dalam mengatur kehidupan pers," ucapnya.
 
Pemerintah juga mengakui kalau Pers di Indonesia melalui dewan pers dan masyarakat persnya bisa mengatur rumah tangga nya sendiri. Dengan adanya aturan dan kesepakatan antara Dewan Pers dengan Kepolisian Republik di Indonesia, maka perlu dipahami bersama oleh masyarakat pers kalau etika jurnalistik adalah aturan yang mengikat cara kerja seorang wartawan. ** 
 
Wartawan Arswendo Atmowiloto Pernah Dipenjara
Dua biografi tokoh yang menerima buku dari wartawan senior asal Riau Fakhrunnas MA Jabbar  masing-masing, Arswendo Atmowiloto, lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 November 1948; umur 68 tahun. Arswendo dikenal sebagai penulis dan wartawan Indonesia yang aktif di berbagai majalah dan surat kabar seperti Hai dan KOMPAS.
 
Arswendo mempunyai nama asli Sarwendo, nama itu diubahnya menjadi Arswendo karena dianggapnya kurang komersial dan ngepop. Lalu di belakang namanya itu ditambahkannyalah nama ayahnya, Atmowiloto, sehingga namanya menjadi apa yang dikenal luas sekarang.
 
Pada tahun 1990, ketika menjabat sebagai pemimpin redaksi tabloid Monitor, ia ditahan dan dipenjara karena satu jajak pendapat. Ketika itu, Tabloid Monitor memuat hasil jajak pendapat tentang siapa yang menjadi tokoh pembaca. Arswendo terpilih menjadi tokoh nomor 10, satu tingkat di atas Nabi Muhammad yang terpilih menjadi tokoh nomor 11. Sebagian masyarakat Muslim marah dan terjadi keresahan di tengah masyarakat. Arswendo kemudian diproses secara hukum sampai divonis hukuman 5 tahun penjara.
 
Wartawati Meutya Hafid Pernah Disandara
Meutya adalah satu dari wartawati di Indonesia yang memiliki karir di dunia politik dan saat ini duduk di komisi I DPR RI. Meutya pernah terpilih sebagai pemenang penghargaan Jurnalistik Elizabeth O'Neill, dari pemerintah Australia. Penghargaan ini dianugerahkan setiap tahun untuk mengenang mantan Atase Pers Kedutaan Australia Elizabeth O’Neill, yang gugur dalam tugasnya pada 7 Maret 2007 dalam kecelakaan pesawat di Yogyakarta. Penghargaan diberikan kepada satu orang jurnalis Australia dan satu orang jurnalis Indonesia, diserahkan langsung oleh Duta Besar Australia untuk Indonesia Bill Farmer.
 
Pada 18 Februari 2005, Meutya dan rekannya juru kamera Budiyanto diculik dan disandera oleh sekelompok pria bersenjata ketika sedang bertugas di Irak. Kontak terakhir Metro TV dengan Meutya adalah pada 15 Februari, tiga hari sebelumnya. Mereka akhirnya dibebaskan pada 21 Februari 2005. Sebelum ke Irak, Meutya juga pernah meliput tragedi tsunami di Aceh.
 
Pada tanggal 28 September 2007, Meutya melaunching buku yang ia tulis sendiri, yaitu 168 Jam dalam Sandera: Memoar Seorang Jurnalis yang Disandera di Irak. Saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun turut menyumbangkan tulisan untuk bagian pengantar dari bukunya. Selain presiden, beberapa tokoh lainnya pun menyumbangkan tulisannya yakni Don Bosco Selamun (Pemimpin Redaksi Metro TV 2004-2005) dan Marty Natalegawa (Mantan Juru Bicara Departemen Luar Negeri). **rd