Kanal

Harga TBS Sawit Terus Naik, Gulat: Berdalih Dengan Pupuk Subsidi, BUMN "Rampok" Petani

PELITARIAU, Pekanbaru - Riau kembali jadi rujukan harga sawit Indonesia, dimana harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Provinsi Riau pada periode 12-18 Januari 2022, mengalami kenaikan. Pada setiap kelompok umur kelapa sawit dengan jumlah kenaikkan terbesar terjadi pada kelompok umur tanam 10 - 20 tahun.

"Alhamdulillah, ada kenaikan harga mencapai 7,29 persen dari harga minggu lalu. Sehingga harga pembelian TBS kelapa sawit petani untuk periode satu minggu kedepan naik menjadi Rp 3.411,31 per Kg," kata Kepala Bidang (Kabid) Pengolahan dan Pemasaran, Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Riau, Defris Hatmaja, Selasa (11/1/2022) seperti dilansir dari mediacenter.riau.go.id.

Sementara itu, naiknya harga TBS periode ini disebabkan oleh terjadinya kenaikkan harga jual CPO dan harga kernel dari beberapa perusahaan yang menjadi sumber data.

Untuk harga jual CPO. PT. Astra Agro Lestari Group mengalami kenaikan sebesar Rp 1.010,00/Kg dari harga minggu lalu,  PT. Asian Agri mengalami kenaikan sebesar Rp. 979,00/Kg, PT. Citra Riau Sarana mengalami kenaikkan harga sebesar Rp 855,60/Kg dari harga minggu lalu.

Sedangkan untuk harga jual Kernel, Asian Agri Group mengalami kenaikkan harga sebesar Rp. 235,00/Kg dari minggu lalu, PT. Citra Riau Sarana mengalami kenaikkan harga sebesar Rp. 198,91/Kg dari harga minggu lalu.

"Sementara dari faktor eksternal, harga minyak sawit mentah Crude Palm Oil (CPO) bergerak naik pada perdagangan senin pagi mendekati harga tertinggi sepanjang masa di MYR 5.071/ton," jelasnya.

Sesak Nafas dan Stress

Naiknya harga TBS di Riau ternyata tidak serta merta membuat petani happy. Sebab kenaikan itu tidak sebanding dengan meroketnya harga Pupuk dan Herbisida hingga 184 persen.

"Kenaikan harga TBS praktis gak dirasakan petani. Semua pada sesak nafas bahkan stress," kata Ketua DPP Apkasindo Dr Gulat Medali Emas Manurung MP.,C.APO.,CIMA kepada kepada wartawan Selasa (11/1/2022). 

Menurut Gulat, jika pemerintah tidak gerak cepat, maka dipastikan pertengahan tahun ini akan terjadi penurunan produksi TBS Pekebun dan ini akan memicu naiknya harga TBS petani yang menurut analisa APKASINDO harga TBS petani bisa pecah Rp.4.000 dipertengahan tahun ini.

Soal kenaikan harga pupuk ini di penghujung 2021 lalu PT Pusri Palembang merilis keberhasilan mereka ke publik. PT Pusri Palembang mencatatkan hasil produksi melampaui target perusahaan. Seiring itu pula perseroan optimistis bisa membukukan laba hingga Rp1 triliun. Pencapaian tersebut berasal dari proses digitalisasi PT Pusri.

"Mengakhiri tahun 2021 ini, minimal kami bisa mendekati Rp 1 triliun dan tahun depan harus bisa melampaui target," kata Direktur Utama PT. Pusri Palembang, Tri Wahyudi Saleh, Kamis, 30 Desember 2021 lalu.

Pernyataan Dirut PT Pusri ini langsung direspon Ketua DPP Apkasindo Gulat Manurung. "Miris, dan keterlaluan,'" ujar Gulat.

"Ya bagaimana mungkin hanya dengan proses digitalisasi langsung untung Rp.1 T lebih, apa Pusri perusahaan IT?,"  lanjut Gulat bertanya. 

Gulat menduga sepertinya PT Pusri dan Produsen Pupuk BUMN lainnya "malu" mengakuin bahwa keuntungan tersebut di dapat dari kenaikan harga jual Pupuk Urea Pusri yang mencapai 100-185%." Ini namanya merampok petani dengan  new model "digitalisasi".

"Kami Petani sawit gak bodoh-bodoh amatlah, kami bisa berhitung. Sangat disayangkan "aji mumpung" dari BUMN ini, seharusnya BUMN penjaga kestabilan harga pupuk, sesuai dengan motto nya "BUMN hadir untuk Negari," kata Gulat merutuk

Menurut Gulat semua petani saat ini, baik petani sawit, apalagi petani tanaman pangan dan hortikultura, sesak nafas atas meroketnya harga pupuk. "Kami Petani sawit tidak berharap dengan dengan pupuk subsidi," katanya dengan nada kecewa berat. 

Maka itu saya sangat mendukung Gebrakan Pak Jaksa Agung merazia segala permainan pupuk sehingga terjadi kenaikan yang tidak wajar lagi. "Gas full Pak JA, sikat semua pemainnya," ujarnya.

Lihatlah, lanjut Gulat, banyak sekali program strategis Pemerintahan Jokowi yang terkendala gara-gara harga pupuk naik melampaui ambang logis. Seperti Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) tidak terlaksana.

"Program Strategis Nasional sangat tertekan dengan harga pupuk ini, dan PSR itu tidak menggunkan pupuk subsidi," katanya lagi.

Gulat bilang, kenaikan harga pupuk praktis menggerus profit margin (keuntungan,red) petani yang Tanaman Menghasilkan (TM) karena 60% biaya produksi sawit itu di Pupuk dan tentu akan mendongkrak HPP (harga pokok produksi) sampai 40-55%.

Dulu HPP 1kg TBS Rp.900-1200/kg. Saat ini HPP sudah mencapai Rp.1.400-1.800/kg, dan akan naik terus.

Sebagai contoh, bulan 12 lalu, di Riau, Sumut dan Kalbar, harga TBS petani di level pedagang pengumpul (RAM) Rp.2.300 (harga Diisbun di PKS kisaran  Rp.2.600-2.900), berarti profit margin petani yang jual ke RAM per kg TBS nya rerata hanya Rp.500-900, ngilu rasanya.

Dengan data sebaran petani dari 22 Provinsi APKASINDO, rerata kepemilikan lahan adalah 2,5 - 4,18 ha dan produksi TBS rerata 800-1.200kg/ha/bulan. Artinya, pendapatan bersih Petani per ha hanya dikisaran Rp.715rb/ha, jika 4 ha berarti Rp.2,86 juta/bulan. Dan dengan luasan kecil seperti ini gak mungkin kami Petani menjualnya ke PKS, gak efisien, karena produksinya sedikit dan bisa-bisa antri seharian.

Jika dibandingkan dengan sebelum kenaikan harga pupuk dan naiknya harga TBS, harga  di pedagang pengumpul (RAM) masih dikisaran Rp.1.600-1.800/kg TBS, pendapatan bersih per ha bisa mencapai Rp.950rb/ha, karena HPP saat itu masih dibawah Rp.1.000/kg.

"Dengan demikian kami lebih bahagia dan memilih harga TBS dikisaran tersebut. Untuk apa naik harga TBS, kalau profit margin kami berkurang", ujar Gulat.

Memang kata Gulat Apkasindo  memaklumi terjadi kelangkaan bahan baku pupuk P dan K dari negara pemasok, namun tidak untuk bahan baku pupuk Urea.

"Kalaupun naik, kewajaran untuk pupuk Urea ini gaklah sampai diatas 35% dan Pupuk Majemuk paling maksimum kenaikannya 50%, kami sudah berhitung kok dan membandingkan dengan negara jiran," beber Gulat.

Dulunya harga Pupuk Urea Non Subsidi berada dikisaran Rp.4.500-5.000/kg, namun pada 8 bulan terakhir sudah mencapai Rp.10.500-11.500/kg. 

"Petani mana yang tidak sesak nafas?. Padahal sumber bahan baku Urea tersebut tersedia di alam Indonesia, jadi gak ada hubungannya Urea dengan luar negeri sebab bahan bakunya ada semua didalam negeri. Bahan baku utama dalam proses produksi Urea adalah Gas Alam, Air, dan Udara. Ketiga bahan baku tersebut diolah untuk menghasilkan Nitrogen(N2), Hidrogen(H2), dan Karbondioksida(CO2)," urai Gulat Doktor Ilmu Lingkungan ini.

Dr. Diharyo, Pengurus APKASINDO Kalimantan Tengah mengatakan bahwa kekacauan harga pupuk di Indonesia seharusnya tidak perlu terjadi, terkhusus pupuk berbahan baku Nitrogen (Pupuk Tunggal dan Majemuk). Itu jika BUMN memainkan peranannya untuk negeri. "Ini yang terjadi malah semua BUMN Pupuk pamer keuntungan yang melampaui target sepanjang sejarah,"

'Rumus matematisnya sederhana kok, jika naik bahan baku, maka nilai jual produk akan naik. Jadi keuntungan itu berkorelasi linier (sama, konstan), bukan tak terhingga, seperti laporan Dirut Pusri itu," pungkas Gulat. **prc


Ikuti Terus Pelitariau.com

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER