Kanal

Media Dapat Dimanfaatkan Sebagai Alat Perang Yang Canggih

PELITARIAU, Jakarta - Media dapat dimanfaatkan sebagai alat perang paling canggih yang menjadikan sistem kesadaran individu, sebagai sasaran atau target utama. Bahkan media dapat membuat kelompok sasaran menjadi lumpuh dan kehilangan keyakinan.

Bila situasi itu terjadi, maka pihak lawan yang menggunakan media sebagai alat perang tidak perlu repot-repot mengirimkan armada perang untuk menaklukkan.


“Ini arti penting media. Apalagi dalam dua dekade belakangan, setidaknya sejak 2000 lanskap komunikasi berubah dengan sangat drastis, dimana produsen informasi bukan lagi korporasi, perusahaan media, tetapi siapapun bisa memproduksi informasi,” ujar Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa ketika berbicara dalam diskusi virtual bertajuk “Membaca Diplomasi Indonesia,” Minggu siang (5/7).


Diskusi virtual ini dipandu Direktur Daerah Tertinggal (Perbatasan Negara), Transmigrasi, dan Perdesaan, Bappenas, Dr. Velix V. Wanggai, yang juga alumni HI Universitas Gadjah Mada (UGM).


Hadir sebagai keynote speaker adalah Staf Ahli Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Kementerian Luar Negeri yang juga Jurubicara Kemlu, Teuku Faizasyah, Ph.D.


Pembicara lain juga hadir Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto, Dosen Senior HI Universitas Indonesia Evi Fitriani, MA Ph D, Marketing & Communication Director Accenture Indonesia Dr Nia Sarinastiti, serta sastrawan Okky Madasari yang juga PhD Candidate dari National University of Singapore.


Selain juga sebagai pembicara Implementation Director KOMPAK Program (Indonesia Governance for Growth), Australia-Indonesia Partnership, Theodore Weohau, dan Head of Democratic Governance and Poverty Reduction Unit, UNDP, Siprianus Bate Soro MA.


Teguh yang diundang sebgai peserta dalam duskusi itu mengatakan praktik jurnalistik masih kerap menggunakan combative lens, yang melihat dialog sebagai sebuah pertempuran yang harus berakhir dengan kemenangan dan kekalahan. Hal ini membuat objektivitas menjadi kabur bahkan hilang.


Menurutnya, terlalu banyak informasi yang ditulis wartawan yang menggunakan combative lens. Seolah-olah setiap dialog harus diakhiri dengan siapa yang menang dan siapa yang kalah.


Contohnya, tutur Teguh, bagaimana respon kalangan wartawan dan media mengenai kabar kematian pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un, yang begitu ramai pada April lalu.  Karena sudah diberitakan media-media besar luar negeri, berita itu pun ditelan begitu saja oleh media-media di Indonesia.


Dia menambahkan sebagai sekjen Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea, dirinya  berusaha untuk mencari tahu ke kontak-kontak yang dimiliki, baik  di Jakarta maupun di Pyongyang.  Akhirnya diperoleh hasil klarifikasi yang diyakini bahwa pimpinan Korea Utara itu berada dalam keadaan yang baik-baik saja.


Ketika informasi ini, lanjutnya, disampaikan kepada sesama wartawan, munucul pertanyaan tentang bukti atas informasi itu. Ini lucu karena ketika mereka menerima informasi pertama yan mengatakan Kim Jong Un meninggal dunia, tidak seorang pun yang bertanya mana buktinya.


“Tetapi ketika ada informasi yang saya sampaikan untuk menjelaskan sisi yang lain, semua ribut dan mempertanyakan buktinya,” tuturnya.


Menurutnya, penelusuran yang dilakukannya adalah bagian dari upaya untuk mendekati fakta, agar tidak sekadar larut dalam desas-desus yang berkembang. Meski begitu dia  tidak menyalahkan media yang ikut mengabarkan desas-desus kematian Kim Jong Un pada saat itu.


“Karena jurnalistik itu tidak tentang kebenaran final atau kebenaran ilahiah. Tetapi kebenaran yang sifatnya fungsional yang menjawab pertayaan pada ruang dan waktu tertentu,” tutupnya. **prc4


sumber: kampusnesia.com


Ikuti Terus Pelitariau.com

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER