Kanal

Catatan Nurul Huda, Gambut dan Perlawanan PT RAPP di Riau

PELITARIAU.com - Perang dingin PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia sepertinya belum berakhir, perang dingin ini bermula keluarnya Peraturan Menteri  Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang perubahan Peraturan Menteri  Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.12/MENLHK-II/SETJEN/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri.

Keluarnya peraturan menteri ini membuat RAPP meradang, dikarenakan dalam Pasal 23A ayat (1) Peraturan Menteri  Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang perubahan Peraturan Menteri  Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.12/MENLHK-II/SETJEN/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri menyebutkan bahwa, IUPHHK-HTI yang telah terbit dan sudah beroperasi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2016 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut izinnya dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu izin berakhir, dengan wajib melakukan penyesuaian tata ruang IUPHHK-HTI dan RKUPHHK-HTI berdasarkan peraturan menteri ini.

Setelah Keluarnya peraturan menteri ini membuat RAPP meradang, dikarenakan dalam Pasal 23A ayat (1) Peraturan Menteri  Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang perubahan Peraturan Menteri  Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.12/MENLHK-II/SETJEN/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri disahkan, RAPP mencoba untuk menyesuaikan RKU (Rencana Kerja Usaha) serta turunannya dengan Pasal 23A ayat (1) Peraturan Menteri  Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang perubahan Peraturan Menteri  Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.12/MENLHK-II/SETJEN/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri akan tetapi beberapa kali diajukan ke KLHK tetapi ditolak. Penolakan ini kemudian terdengar ditelinga serikat buruh.

Tanpa ampun serikat buruh mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA). Hasilnya membuat KLHK meradang, MA dalam Putusannya Nomor 49P/HUM/2017 menyatakan bahwa  Pasal 23A ayat (1) Peraturan Menteri  Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang perubahan Peraturan Menteri  Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.12/MENLHK-II/SETJEN/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Tidak sampai disana, perlawanan RAPP melalui serikat kerja juga terus dilakukan dengan menurunkan massa kurang lebih puluhan ribu orang, walaupun RAPP dalam surat resminya menghimbau kepada buruh untuk tidak berdemo, tapi sulit rasanya jika tidak ada hubungannya dengan RAPP.  Selesaikah perang dingin tersebut, ternyata tidak, Bu Menteri dengan nada yang tegas menyatakan akan memanggil kembali RAPP.

Pertanyaannya kemudian adalah, adakah kata sepakat setelah pemanggilan terhadap RAPP dilakukan. Sulit rasanya untuk dapat kata sepakat, karena KLHK berdiri dalam melindungi ekosistem gambut, sementara RAPP berdiri diatas hukum yang berlaku. Lantas apa yang harus dilakukan agar persoalan mendapat penyelesaian.

Pertama-tama yang harus dilakukan adalah sebagai negara hukum, KLHK harus tunduk dan patuh terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum mengikat. Karena Pasal 23A ayat (1) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang perubahan Peraturan Menteri  Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.12/MENLHK-II/SETJEN/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri  bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 

Untuk itu, jika KLHK ingin mengatur kembali regulasi terhadap ekosistem gambut sebaiknya memperhatikan seluruh aspek hukum yang ada, dan membuat aturan yang tidak berlaku surut, karena dalam ilmu hukum dikenal asas non retroaktif, yaitu tidak memberlakukan aturan yang berlaku surut. Kedua, KLHK sebaiknya tidak hanya fokus kepada ekosistem gambut, tetapi juga pengawasan disektor lain. Seperti misalnya meninjau kesiapan perusahaan HTI terhadap kemungkinan apabila terjadi kebakaran di wilayah HTI perusahaan. Ketiga, KLHK sebaiknya tidak menggunakan pola kekuasaan dalam menyelesaikan masalah, akan tetapi harus lebih mengutamakan penyelesaian yang sedapat mungkin menguntungkan semua pihak.

Keempat, KLHK bisa membuat aturan yang lebih tegas misalnya, apabila terjadi kebakaran di wilayah HTI perusahaan maka izinya bisa dicabut. RAPP sebagai perusahaan yang tergabung dalam APRIL GROUP dan perusahaan HTI lainnya juga jangan merasa bahwa ketika persoalan hukum telah dimenangkan, jangan sampai ekosistem gambut tidak dijaga, terlebih lagi persoalan kebakaran. Karena persoalan kebakaran sudah berulang kali terjadi di Riau dimana asap kebakaran tersebut hijrah hingga ke Negara Malaysia dan Singapura.

Selanjutnya menjaga lingkungan juga tidak kalah pentingnya dari pada mencari keuntungan, ketika lingkungan sudah rusak maka biaya yang dikeluarkan begitu mahal.

Banyak contoh yang telah ada, ketika sebuah perusahaan telah mengeruk kekayaan alam yang ada di suatu negara, begitu banyak meninggalkan persoalan lingkungan. Karena itu, sikap tegas Bu Menteri KLHK harus dianggap sebagai upaya pencegahan kerusakan lingkungan, bukan sebagai upaya mencegah perusahaan untuk mencari untung sebanyak-banyaknya terlebih lagi menghambat buruh untuk bekerja. Semoga!!....

Penulis: Dr. Muhammad Nurul Huda, S.H., M.H
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau


Ikuti Terus Pelitariau.com

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER